Rabu, 09 Januari 2013

RESPON TERHADAP BERITA


RESPON TERHADAP BERITA

PENDAHULUAN
Dakwah merupakan aktivitas untuk mengajak manusia agar berbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Di samping itu, dakwah islam juga dapat dimaknai sebagai usaha dan aktivitas orang beriman dalam mewujudkan ajaran islam dengan menggunakan sistem dan cara tertentu ke dalam kenyataan hidup perorangan (fardiyah), keluarga (usrah), kelompok (thaifah), masyarakat (mujtama’), dan Negara (baldatun) merupakan kegiatan yang menyebabkan terbentuknya komunikasi dan masyarakat muslim serta peradabannya. Tanpa adanya aktivitas dakwah, masyarakat muslim tidak mungkin terbentuk. Oleh karena itu, dakwah merupakan aktivitas yang berfungsi mentransformasikan nilai-nilai Islam sebagai ajaran (doktrin) menjadi kenyataan tata masyarakat dan peradabannya yang mendasarkan pada pandangan dunia Islam yang bersumber pada Alqur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, dakwah Islam merupakan factor dinamika dalam membentuk terwujudnya masyarakat yang berkualitas khairu ummah dan baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.[1]

PEMBAHASAN

A.    Da’i Sebagai Komunikator
Komunikator merupakan orang yang menyampaikan isi pernyataan kepada komunikan. Komunikator bisa tunggal, kelompok, atau organisasi pengirim berita. Komunikator bertanggung jawab dalam hal mengirim berita dengan jelas, memilih media yang cocok untuk menyampaikan pesan tersebut, dan meminta kejelasan apakah pesan telah diterima dengan baik. Untuk itu, seseorang komunikator dalam menyampaikan pesan atau informasi harus memperhatikan denagn siapa dia berkomunikasi, apa yang akan disampaikan, dan bagaimana cara menyampaikannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap muslim yang mukallaf (dewasa) secara otomatis dapat berperan sebagai da”i/mubalig (komunikator) yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ajaran-ajaran islam kepada seluruh umat manusia. Tentu saja dalam pengertian yang sangat luas, proses dakwah itu tidak merupakan suatu komunikasi yang bersifat oral maupun tertulis saja. Tetapi semua kegiatan serta sarana yang secara hukum adalah sah, dapat dijadikan alat untuk berdakwah sesuai dengan kemampuan dari komunikator masing-masing. Sehingga dengan demikian, kita mengenal istilah total dakwah, yaitu proses dimana setiap muslim dapat mendayagunakan kemampuannya masing-masing dalam rangka mempengaruhi orang lain agar bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan mission sacred dari ajaran-ajaran islam tersebut.[2]

B.     Hadis Tentang Berhati-hati dalam Mencari Berita

وعن ابي هر يرة رضي الله عنه ان النبي صلي الله عليه وسلم قل: كفي بالمرء كدباان يحد ث بكل ماسمع.روه مسلم.
Abu Hurairoh r.a. berkata: Bersabda Nabi s.a.w: cukup orang berdusta kalau ia membicarakan semua apa yang didengarkan.
Hadis diatas menjelaskan bahwa kurang teliti dalam pembicakaraan dan membawa berita, akan membawa dusta.

وعن سمرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: من حدث عني بحديث يري انه كدب فهواحدالكادبين. روه مسلم.
Samuroh r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: siapa menceritakan suatu berita daripadaku, yang ia sendiri menganggap bahwa berita itu dusta, maka ia salah satu dari pendusta.[3]
Hadits diatas menjelaskan, jangan membawa berita kecuali kamu sendiri merasa itu benar dan sudah diselidiki.

وعن ابي هريرة رضي الله عنه:ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال:اياكم والظن فان الظناكدب الحديث.متفق عليه.

Abu hurairah r.a. berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: awaslah kamu daripada sangka-sangka, karena sangka-sangka itu sedusta-dusta berita.[4]
Hadits diatas menjelaskan bahwa janganlah berburuk sangka terhadap berita karena itu akan membawa dusta.
Panduan Allah SWT bagi kaum muslim dalam menyikapi suatu informasi (berita) begitu tegas: telitilah berita yang dibawa atau disiarkan orang-orang fasik. Artinya, jangan mudah percaya begitu saja kepada suatu berita, kabar, opini, atau informasi yang disebarkan oleh orang-orang fasik.[5]
Hadits diatas mengajarkan kepada kaum muslimin agar berhati-hati dalam menerima berita dan informasi. Sebab informasi sangat menentukan mekanisme pengambilan keputusan, dan bahkan entitas keputusan itu sendiri. Keputusan yang salah akan menyebabkan semua pihak merasa menyesal. Pihak pembuat keputusan merasa menyesal karena keputusannya itu menyebabkan dirinya mendhalimi orang lain. Pihak yang menjadi korban pun tak kalah sengsaranya mendapatkan perlakuan yang dhalim. Maka jika ada informasi yang berasal dari seseorang yang integritas kepribadiannya diragukan harus diperiksa terlebih dahulu. Dan berita itu harus dikonfirmasi, sehingga merasa yakin akan kebenaran informasi tersebut untuk dijadikan sebuah fakta.
Informasi yang perlu dikonfirmasikan adalah berita penting, yang berpengaruh secara signifikan terhadap nasib seseorang, yang dibawa oleh orang fasik. Tentang arti fasik, para ulama’ menjelaskan mereka adalah orang yang berbuat dosa besar. Sedang dosa besar itu sendiri adalah dosa yang ada hukuman di dunia, atau ada ancaman siksa di akhirat. Berdusta termasuk dalam salah satu dosa besar, berdasarkan sabda Rasulullah saw; “Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa besar yang paling besar, lalu beliau menjelaskan, kata-kata dusta atau kesaksian dusta” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Sebenarnya persoalan dusta sebagai dosa besar atau dosa kecil tergantung pada masalah yang diberitakan secara dusta. Jika materi informasi tersebut menyangkut persoalan penting yang berimplikasi besar, maka berdusta bisa masuk kategori dosa besar. Tetapi jika persoalan yang disampaikan secara dusta itu persoalan sepele, dan tidak berimplikasi apa-apa, bisa masuk dosa kecil. Meskipun begitu, kebiasaan dusta itu sendiri adalah kebiasaan yang sangat tidak baik, sehingga di dalam bai’at Aqabah Rasulullah saw memasukkan unsur ‘tidak berdusta’ ke dalam salah satu point bai’at. Terlepas dari dosa besar atau dosa kecil, orang yang biasa berdusta menunjukkan bahwa kepribadiannya meragukan, sehingga kata-katanya tidak bisa dipercaya.
Dan mengenai berita yang perlu dikonfirmasi adalah berita penting, ditunjukkan dengan digunakannya kata naba’ untuk menyebut berita, bukan kata khabar. M. Quraish Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi halaman 262 membedakan makna dua kata itu. “Kata naba’ menunjukkan berita penting, sedangkan khabar menunjukkan berita secara umum. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong, dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi.”
Dalam soal mentabayyun berita yang berasal dari orang yang berkarakter meragukan ini ada teladan yang indah dari ahli hadis. Mereka telah mentradisikan tabayyun ini di dalam meriwayatkan hadis. Mereka menolak setiap hadis yang berasal dari pribadi yang tidak dikenal identitasnya (majhul hal), atau pribadi yang diragukan intgritasnya (dla’if). Sebaliknya, mereka mengharuskan penerimaan berita itu jika berasal dari seorang yang berkepribadian kuat (tsiqah). Untuk itulah kadang-kadang mereka harus melakukan perjalanan berhari-hari untuk mengecek apakah sebuah hadis yang diterimanya itu benar-benar berasal dari sumber yang valid atau tidak.
Tetapi sayang, tradisi ini kurang diperhatikan oleh kaum muslimin saat ini. Pada umumnya orang begitu mudah percaya kepada berita di koran, majalah atau media massa. Mudah pula percaya kepada berita yang bersumber dari orang kafir, padahal kekufuran itu adalah puncak kefasikan. Sehingga dalam pandangan ahlul hadis, orang kafir sama sekali tidak bisa dipercaya periwayatannya.
Sebagai misal, ketika mereka menuduh seseorang atau kelompok sebagai teroris, maka serta merta semua orang seperti mengikuti berita itu secara taken of granted. Akibat dari informasi tersebut, sebagian umat Islam menjadi terpojok dan terkucil, dan bisa jadi terdhalimi. Sementara orang-orang kafir mendapatkan dukungan sehingga berada di atas angin Dalam persoalan seperti ini seharusnya orang Islam berhati-hati, jika tidak mengetahui informasi secara persis maka harus bersikap tawaqquf (diam) Jangan mudah memberikan respon, pendapat, analisa atau sikap terhadap orang lain jika informasi yang diperolehnya belum valid. Sebab jika tidak, ia akan terjerumus pada sikap mengikuti isyu, dan akhirnya menetapkan sebuah keputusan tanpa fakta.
C.    Respon Mad’u Terhadap Berita
Dalam komunikasi respon mad’u terhadap berita sangat berperan penting. Karena kelanjutan komunikasi atau berhentinya komunikasi yang berasala dari komunikator ditentukan oleh respon mad’u tersebut. Respon atau tanggapan mad’u yang menyenangkan komunikator, komunikator akan tetap melanjutkan komunikasinya sehingga berjalan dengan lancar dan sebaliknya jika respon atau tanggapan mad’u yang kurang menyenangkan komunikatornya maka komunikasinya akan berhenti atau selesai, karena komunikator enggan melanjutkan komunikasinya.
Berdasarkan responn atau tanggapaan mad’u terhadap dakwah, mad’u dapat digolongkan menjadi:
a.       Golongan simpati aktif, yaitu mad’u yang menaruh simpati dan secara aktif member dukungan moral dan materi terhadap kesuksesan dakwah. Mereka juga berusaha mengatasi hal-hal yang dianggapnya merintangi jalannya dakwah dan bahkan mereka bersedia berkorban segalanya untuk kepentingan Allah SWT.
b.      Golongan pasif, mad’u yang masa bodoh terhadap dakwah, tidak merintangi dakwah.
c.       Golongan antipati, mad’u yang tidak rela atau tidak suka akan terlaksananya dakwah. Mereka berusaha dating berbagai cara untuk merintangi atau meninggalkan dakwah.[6]

Ibnu Abbas r.a. berkata: Nabi s.a.w bersabda: Allah SWT berfirman:

لمااصيب اخوانكم باحدجعل الله ارواحهم في طيرخضرتردانهاالنة تاكل من ثمارهاوتاوي الي قناديل من دهب معلقةفي ظل العرس فلماوجدواطيب هاكلهم ومشربهم ومقيلهم قالوا: من يبلغ اخوانناعناانااحيافي الجنةنرزق لئلايزهدوافي الجهادولاينكلواعن الحرب فقال الله تعالي اناابلغهم عنكم.اخرجه احمدوابوداودوالحاكم والبيهقي وابن عباس رضي الله عنهما. 
“Tatkala terkena mati kawan-kawanmu di dalam perang “Uhud”, Allah memindahkan roh-roh mereka ke dalam burung-burung hijau yang menghinggapi sungai-sungai syurga memakan dari buah-buahannya dan dating berlindung pada lampu-lampu emas yang bergantungan di bawah bayangan aresy. Setelah ditemui dan dirasakan makanan dan minum-minuman yang selezat dan sedap serta kenikmatan tempat peristirahatan, berkatalah burung-burung itu: siapakah yang akan menyampaikan berita kepada kawan-kawan kami, bahwa kami hidup bahagia di syurga, agar supaya mereka tidak berhenti berjihad dan menjadi licik pengecut dalam peperangan. Allah berfirman: “Aku akan sampaikan berita itu kepada mereka untukmu”. (HR. Ahmad, Anu Dawud, Alhakim, Albaihaqi dan Ibnu Jair).[7]
Berdasarkan hadits diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tindakan yang dilakukan oleh seseorang dapat dipengaruhi oleh suatu berita yang datang. Respon atau tanggapan setiap orang terhadap sebuah berita pasti tidak sama. Ada yang menerima, menolak, mendukung, atau justru tedak merespon terhadap berita tersebut.
kita jangan sampai melakukan tindakan salah dan ceroboh mengenai pastinya kebenaran akan berita tersebut. Tetapi kita juga harus benar-benar tahu akan kebenaran berita tersebut, karena kita sebagai umat islam harus peka terhadap berita yang dating.

SIMPULAN
Sebagai uamt islam, dalam mencari berita atau membawa berita kita harus tahu terlebih dahulu berita tersebus sudah pasti kebenarannya atau tidak, jangan mudah percaya begitu saja kepada suatu berita, kabar, opini, atau informasi yang disebarkan oleh orang-orang fasik. Dan dalam prose berkomunikasi atau proses dakwah tentunya ada respon atau tanggapan antara komunikator dengan komunikan. Respon atau tanggapan mad’u terhadp dakwah dapat digolongkan menjadi, yaitu golongan simpati aktif, golongan pasif, dan golongan antipasti.

PENUTUP
Demikian makalah respon terhadap berita, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca sangat diperlukan untuk kebaikan makalah selanjutnya. Demikian dan terima kasih semoga bermanfaat.




DAFTAR PUSTAKA
Amir, Samsul Munir, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzan, 2009
Bahreisy, Salim, Terjemah Riadhus Shalihin, Bandung: PT. Alma’arif
Ilahi, Wahyu, Komunikasi Dakwah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010
Husain, Adian, Penyesatan Opini, Jakarta: Gema Insani, 2002




[1] Drs. Samsul Munir Amir, M.A., Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), hal.xviii
[2] Ibid, hal. 146
[3] Salim Bahreisy, Terjemah Riadhus Shalihin II, (Bandung: PT. Alma’afir), hal. 428
[4] Ibid, hal. 447
[5] Adian Husain, M.A., Penyesatan Opini, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hal. xiii
[6] Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 119-120
[7] Muhammad Tajudin, 272 Hadits Qudsi, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1948), hal. 159-160

Mubazir dan Kita