RESPON TERHADAP BERITA
PENDAHULUAN
Dakwah merupakan aktivitas untuk mengajak manusia agar berbuat
kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang
mereka dari perbuatan munkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Di samping itu, dakwah islam juga dapat dimaknai sebagai usaha dan
aktivitas orang beriman dalam mewujudkan ajaran islam dengan menggunakan sistem
dan cara tertentu ke dalam kenyataan hidup perorangan (fardiyah),
keluarga (usrah), kelompok (thaifah), masyarakat (mujtama’),
dan Negara (baldatun) merupakan kegiatan yang menyebabkan terbentuknya
komunikasi dan masyarakat muslim serta peradabannya. Tanpa adanya aktivitas
dakwah, masyarakat muslim tidak mungkin terbentuk. Oleh karena itu, dakwah
merupakan aktivitas yang berfungsi mentransformasikan nilai-nilai Islam sebagai
ajaran (doktrin) menjadi kenyataan tata masyarakat dan peradabannya yang
mendasarkan pada pandangan dunia Islam yang bersumber pada Alqur’an dan
As-Sunnah. Oleh karena itu, dakwah Islam merupakan factor dinamika dalam
membentuk terwujudnya masyarakat yang berkualitas khairu ummah dan baldatun
thayyibah wa rabbun ghafur.[1]
PEMBAHASAN
A.
Da’i
Sebagai Komunikator
Komunikator merupakan orang yang menyampaikan isi pernyataan kepada
komunikan. Komunikator bisa tunggal, kelompok, atau organisasi pengirim berita.
Komunikator bertanggung jawab dalam hal mengirim berita dengan jelas, memilih
media yang cocok untuk menyampaikan pesan tersebut, dan meminta kejelasan
apakah pesan telah diterima dengan baik. Untuk itu, seseorang komunikator dalam
menyampaikan pesan atau informasi harus memperhatikan denagn siapa dia
berkomunikasi, apa yang akan disampaikan, dan bagaimana cara menyampaikannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap muslim yang mukallaf
(dewasa) secara otomatis dapat berperan sebagai da”i/mubalig
(komunikator) yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ajaran-ajaran islam
kepada seluruh umat manusia. Tentu saja dalam pengertian yang sangat luas,
proses dakwah itu tidak merupakan suatu komunikasi yang bersifat oral maupun
tertulis saja. Tetapi semua kegiatan serta sarana yang secara hukum adalah sah,
dapat dijadikan alat untuk berdakwah sesuai dengan kemampuan dari komunikator
masing-masing. Sehingga dengan demikian, kita mengenal istilah total dakwah,
yaitu proses dimana setiap muslim dapat mendayagunakan kemampuannya
masing-masing dalam rangka mempengaruhi orang lain agar bersikap dan bertingkah
laku sesuai dengan mission sacred dari ajaran-ajaran islam tersebut.[2]
B.
Hadis
Tentang Berhati-hati dalam Mencari Berita
وعن
ابي هر يرة رضي الله عنه ان النبي صلي الله عليه وسلم قل: كفي بالمرء كدباان يحد ث
بكل ماسمع.روه مسلم.
Abu
Hurairoh r.a. berkata: Bersabda Nabi s.a.w: cukup orang berdusta kalau ia
membicarakan semua apa yang didengarkan.
Hadis
diatas menjelaskan bahwa kurang teliti dalam pembicakaraan dan membawa berita,
akan membawa dusta.
وعن سمرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: من حدث
عني بحديث يري انه كدب فهواحدالكادبين. روه مسلم.
Samuroh
r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: siapa menceritakan suatu berita
daripadaku, yang ia sendiri menganggap bahwa berita itu dusta, maka ia salah
satu dari pendusta.[3]
Hadits
diatas menjelaskan, jangan membawa berita kecuali kamu sendiri merasa itu benar
dan sudah diselidiki.
وعن ابي هريرة رضي الله عنه:ان رسول الله صلي الله عليه وسلم
قال:اياكم والظن فان الظناكدب الحديث.متفق عليه.
Abu
hurairah r.a. berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: awaslah kamu daripada sangka-sangka,
karena sangka-sangka itu sedusta-dusta berita.[4]
Hadits
diatas menjelaskan bahwa janganlah berburuk sangka terhadap berita karena itu
akan membawa dusta.
Panduan Allah SWT bagi kaum muslim dalam menyikapi suatu informasi
(berita) begitu tegas: telitilah berita yang dibawa atau disiarkan orang-orang
fasik. Artinya, jangan mudah percaya begitu saja kepada suatu berita, kabar,
opini, atau informasi yang disebarkan oleh orang-orang fasik.[5]
Hadits
diatas mengajarkan kepada kaum muslimin agar berhati-hati dalam
menerima berita dan informasi. Sebab informasi sangat menentukan mekanisme
pengambilan keputusan, dan bahkan entitas keputusan itu sendiri. Keputusan yang
salah akan menyebabkan semua pihak merasa menyesal. Pihak pembuat keputusan
merasa menyesal karena keputusannya itu menyebabkan dirinya mendhalimi orang
lain. Pihak yang menjadi korban pun tak kalah sengsaranya mendapatkan perlakuan
yang dhalim. Maka jika ada informasi yang berasal dari seseorang yang
integritas kepribadiannya diragukan harus diperiksa terlebih dahulu. Dan berita
itu harus dikonfirmasi, sehingga merasa yakin akan kebenaran informasi tersebut
untuk dijadikan sebuah fakta.
Informasi yang perlu dikonfirmasikan adalah berita
penting, yang berpengaruh secara signifikan terhadap nasib seseorang, yang
dibawa oleh orang fasik. Tentang arti fasik, para ulama’ menjelaskan mereka
adalah orang yang berbuat dosa besar. Sedang dosa besar itu sendiri adalah dosa
yang ada hukuman di dunia, atau ada ancaman siksa di akhirat. Berdusta termasuk
dalam salah satu dosa besar, berdasarkan sabda Rasulullah saw; “Maukah kalian
aku beritahukan tentang dosa besar yang paling besar, lalu beliau menjelaskan,
kata-kata dusta atau kesaksian dusta” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Sebenarnya persoalan dusta sebagai dosa besar atau dosa
kecil tergantung pada masalah yang diberitakan secara dusta. Jika materi
informasi tersebut menyangkut persoalan penting yang berimplikasi besar, maka
berdusta bisa masuk kategori dosa besar. Tetapi jika persoalan yang disampaikan secara dusta itu
persoalan sepele, dan tidak berimplikasi apa-apa, bisa masuk dosa kecil. Meskipun begitu, kebiasaan dusta itu sendiri adalah
kebiasaan yang sangat tidak baik, sehingga di dalam bai’at Aqabah Rasulullah
saw memasukkan unsur ‘tidak berdusta’ ke dalam salah satu point bai’at.
Terlepas dari dosa besar atau dosa kecil, orang yang biasa berdusta menunjukkan
bahwa kepribadiannya meragukan, sehingga kata-katanya tidak bisa dipercaya.
Dan mengenai berita yang perlu dikonfirmasi adalah berita
penting, ditunjukkan dengan digunakannya kata naba’ untuk menyebut berita, bukan kata khabar. M. Quraish
Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi halaman 262 membedakan makna dua
kata itu. “Kata naba’ menunjukkan berita penting, sedangkan khabar menunjukkan
berita secara umum. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu
diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu
ringan, omong kosong, dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki,
bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi.”
Dalam soal mentabayyun berita yang berasal dari orang
yang berkarakter meragukan ini ada teladan yang indah dari ahli hadis. Mereka
telah mentradisikan tabayyun ini di dalam meriwayatkan hadis. Mereka menolak
setiap hadis yang berasal dari pribadi yang tidak dikenal identitasnya (majhul hal),
atau pribadi yang diragukan intgritasnya (dla’if). Sebaliknya, mereka
mengharuskan penerimaan berita itu jika berasal dari seorang yang
berkepribadian kuat (tsiqah). Untuk itulah kadang-kadang mereka harus melakukan
perjalanan berhari-hari untuk mengecek apakah sebuah hadis yang diterimanya itu
benar-benar berasal dari sumber yang valid atau tidak.
Tetapi sayang, tradisi ini kurang diperhatikan oleh kaum
muslimin saat ini. Pada umumnya orang begitu mudah percaya kepada berita di
koran, majalah atau media massa. Mudah pula percaya kepada berita yang
bersumber dari orang kafir, padahal kekufuran itu adalah puncak kefasikan.
Sehingga dalam pandangan ahlul hadis, orang kafir sama sekali tidak bisa
dipercaya periwayatannya.
Sebagai misal, ketika mereka menuduh seseorang atau
kelompok sebagai teroris, maka serta merta semua orang seperti
mengikuti berita itu secara taken of granted. Akibat dari
informasi tersebut, sebagian umat Islam menjadi terpojok dan terkucil, dan bisa
jadi terdhalimi. Sementara orang-orang kafir mendapatkan dukungan sehingga
berada di atas angin Dalam persoalan seperti ini seharusnya orang Islam
berhati-hati, jika tidak mengetahui informasi secara persis maka harus bersikap
tawaqquf (diam) Jangan mudah memberikan respon, pendapat, analisa atau sikap
terhadap orang lain jika informasi yang diperolehnya belum valid. Sebab jika
tidak, ia akan terjerumus pada sikap mengikuti isyu, dan akhirnya menetapkan
sebuah keputusan tanpa fakta.
C.
Respon
Mad’u Terhadap Berita
Dalam komunikasi respon mad’u terhadap berita sangat berperan
penting. Karena kelanjutan komunikasi atau berhentinya komunikasi yang berasala
dari komunikator ditentukan oleh respon mad’u tersebut. Respon atau tanggapan
mad’u yang menyenangkan komunikator, komunikator akan tetap melanjutkan
komunikasinya sehingga berjalan dengan lancar dan sebaliknya jika respon atau
tanggapan mad’u yang kurang menyenangkan komunikatornya maka komunikasinya akan
berhenti atau selesai, karena komunikator enggan melanjutkan komunikasinya.
Berdasarkan responn atau tanggapaan mad’u terhadap dakwah, mad’u
dapat digolongkan menjadi:
a.
Golongan
simpati aktif, yaitu mad’u yang menaruh simpati dan secara aktif member
dukungan moral dan materi terhadap kesuksesan dakwah. Mereka juga berusaha
mengatasi hal-hal yang dianggapnya merintangi jalannya dakwah dan bahkan mereka
bersedia berkorban segalanya untuk kepentingan Allah SWT.
b.
Golongan
pasif, mad’u yang masa bodoh terhadap dakwah, tidak merintangi dakwah.
c.
Golongan
antipati, mad’u yang tidak rela atau tidak suka akan terlaksananya dakwah.
Mereka berusaha dating berbagai cara untuk merintangi atau meninggalkan dakwah.[6]
Ibnu
Abbas r.a. berkata: Nabi s.a.w bersabda: Allah SWT berfirman:
لمااصيب اخوانكم باحدجعل الله ارواحهم في طيرخضرتردانهاالنة تاكل من
ثمارهاوتاوي الي قناديل من دهب معلقةفي ظل العرس فلماوجدواطيب هاكلهم ومشربهم
ومقيلهم قالوا: من يبلغ اخوانناعناانااحيافي الجنةنرزق لئلايزهدوافي
الجهادولاينكلواعن الحرب فقال الله تعالي اناابلغهم عنكم.اخرجه احمدوابوداودوالحاكم والبيهقي وابن عباس رضي الله عنهما.
“Tatkala terkena mati kawan-kawanmu di dalam perang “Uhud”, Allah
memindahkan roh-roh mereka ke dalam burung-burung hijau yang menghinggapi
sungai-sungai syurga memakan dari buah-buahannya dan dating berlindung pada
lampu-lampu emas yang bergantungan di bawah bayangan aresy. Setelah ditemui dan
dirasakan makanan dan minum-minuman yang selezat dan sedap serta kenikmatan
tempat peristirahatan, berkatalah burung-burung itu: siapakah yang akan
menyampaikan berita kepada kawan-kawan kami, bahwa kami hidup bahagia di
syurga, agar supaya mereka tidak berhenti berjihad dan menjadi licik pengecut
dalam peperangan. Allah berfirman: “Aku akan sampaikan berita itu kepada mereka
untukmu”. (HR. Ahmad, Anu Dawud, Alhakim, Albaihaqi dan Ibnu Jair).[7]
Berdasarkan hadits diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
tindakan yang dilakukan oleh seseorang dapat dipengaruhi oleh suatu berita yang
datang. Respon atau tanggapan setiap orang terhadap sebuah berita pasti tidak
sama. Ada yang menerima, menolak, mendukung, atau justru tedak merespon
terhadap berita tersebut.
kita jangan sampai melakukan tindakan salah dan ceroboh mengenai
pastinya kebenaran akan berita tersebut. Tetapi kita juga harus benar-benar
tahu akan kebenaran berita tersebut, karena kita sebagai umat islam harus peka
terhadap berita yang dating.
SIMPULAN
Sebagai uamt islam, dalam mencari berita atau membawa berita kita
harus tahu terlebih dahulu berita tersebus sudah pasti kebenarannya atau tidak,
jangan mudah percaya begitu saja kepada suatu berita, kabar, opini, atau
informasi yang disebarkan oleh orang-orang fasik. Dan dalam prose berkomunikasi
atau proses dakwah tentunya ada respon atau tanggapan antara komunikator dengan
komunikan. Respon atau tanggapan mad’u terhadp dakwah dapat digolongkan
menjadi, yaitu golongan simpati aktif, golongan pasif, dan golongan antipasti.
PENUTUP
Demikian
makalah respon terhadap berita, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca sangat diperlukan untuk
kebaikan makalah selanjutnya. Demikian dan terima kasih semoga bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir,
Samsul Munir, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzan, 2009
Bahreisy,
Salim, Terjemah Riadhus Shalihin, Bandung: PT. Alma’arif
Ilahi,
Wahyu, Komunikasi Dakwah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010
Husain,
Adian, Penyesatan Opini, Jakarta: Gema Insani, 2002
[1] Drs. Samsul Munir Amir, M.A., Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah,
2009), hal.xviii
[2] Ibid, hal. 146
[3] Salim Bahreisy, Terjemah Riadhus Shalihin II, (Bandung: PT.
Alma’afir), hal. 428
[4] Ibid, hal. 447
[5] Adian Husain, M.A., Penyesatan Opini, (Jakarta: Gema Insani,
2002), hal. xiii
[6] Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2010), hal. 119-120
[7] Muhammad Tajudin, 272 Hadits Qudsi, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1948), hal. 159-160